Saturday, June 15, 2013

Kebudayaan Sumatera Selatan : Posisi dan Eksistensinya

Indonesia mengenal asas Bhinneka Tunggal Ika yang artinya walaupun berbeda-beda namun tetap satu jua. Betapa pentingnya Bhinneka Tunggal Ika ini hingga dikukuhkan dalam Empat Pilar Kebangsaan yang gencar di sosialisasikan oleh Alm. Taufik Kiemas. Perbedaan ini meliputi Suku, Bangsa, Ras, Agama Maupun Adat Istiadat. Sumatera Selatan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia juga tidak lepas dari ke Bhinnekaan itu. Di Sumatera Selatan sendiri banyak terdapat Suku, Bangsa, Ras, Agama serta Adat Istiadat itu. Salah satu etnis ataupun masyarakat adat di Sumatera Selatan adalah Suku Semende atau Semendo yang terbagi atas dua bagian yaitu Semende Darat dan Semende Lembak. Semende merupakan bagian dari "Besemah Libagh-Semende Panjang" atau Besemah Lebar-Semende Panjang. Semende atau Semendo Darat berkembang di daerah Kabupaten Muara Enim sedangkan Semende atau Semendo Lembak berkembang di daerah Kabupaten OKU Selatan.

Sebagai salah satu Komunitas Masyarakat yang besar Semende mempunyai peradaban dan budaya yang terus berkembang. Sewaktu penulis masih kecil sering mendengarkan ”andai-andai” atau cerita dari sang Kakek. “andai-andai” sendiri merupakan salah satu budaya tutur masyarakat Semende yang sekarang semakin dilupakan. “andai-andai” berisi cerita-cerita yang bersifat dongeng, khayalan maupun lawakan yang sering diceritakan menjelang tidur atau malam hari. Budaya tutur “andai-andai” ini hampir sama dengan budaya "dongeng sebelum tidur" yang berkembang dibanyak negara di dunia. Kisah dalam “andai-andai” biasanya diambil dalam kehidupan sehari-hari ataupun dongeng binatang (Fabel). ”andai-andai” ini biasanya sangat digemari oleh anak-anak dan selalu menjadi sarana kedekatan antara kakek dengan cucunya. Biasanya ketika malam hari sambil memijit sang kakek selalu ber”andai-andai”, cerita-cerita mengenai Sang Piatu, Sang Putri ataupun Sang Kancil menjadi favorit anak-anak.

Jika sekarang sedang berkembang yang namanya Stand Up Comedy dalam masyarakat Semende sudah ada yang namanya “andai-andai” ini yang selalu disisipi dengan komedi-komedi oleh sang Pendongeng. Seiring perjalanan waktu dan perkembangan zaman budaya tutur ini semakin hilang tertelan zaman. Anak-anak lebih senang menonton Sinetron ataupun acara televisi lain. Selain budaya tutur yang dikenal dengan “andai-andai” masyarakat Semende juga mengenal Seni Musik yang disebut "Berejung"  dan dikenal dengan Tembang Batang Hari Sembilan. "Berejung"  atau Tembang Batang Hari Sembilan sendiri juga menjadi Budaya Sumatera Selatan secara keseluruhan. Dalam banyak masyarakat adat lain di Sumatera Selatan juga mengenal seni musik ini yang menggunakan Bahasa Adat masing-masing.

"Berejung" sendiri biasanya menggunakan Gitar Tunggal dan syair-syairnya berupa Pantun dan berisi mengenai kesedihan maupun kehidupan sehari-hari. Musiknya yang bersifat melankolis tidak jarang membuat orang-orang yang mendengarkan terbawa oleh suasana musik dan tak jarang ikut menitikkan air mata. Dengan nada serta notasi gitar tersendiri membuat seni musik ini tidak banyak disukai oleh generasi muda dan tinggal orang-orang tua yang masih mahir memainkan musik gitar tunggal ini. Selain "Berejung" seni lainnya adalah "Guritan" yang juga merupakan seni tutur namun mempunyai nada tersendiri dan tak jarang diiringi dengan petikan gitar tunggal. "Guritan" biasanya berisi tentang kisah tokoh-tokoh atau suatu daerah dan mempunyai rentetan cerita yang apik. Selain budaya-budaya diatas masih banyak budaya-budaya lain yang semakin hari semakin tergerus oleh zaman. Budaya-budaya seperti ini seharusnya kita pertahankan karena ini merupakan kekayaan atau heritage Bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika.

Pasemah Sindang Merdeka : Eksistensi Dan Aneksasi Belanda

Ukiran Rumah Kuno Besemah
Sumatera Selatan sebagai salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai peran yang tidak sedikit dalam melawan penjajahan atau Imperialisme. Tercatat beberapa peperangan besar pernah terjadi di wilayah yang disebut Sumatera Selatan kini. Perang Palembang I, Perang Palembang II, Perang Pasemah atau Besemah 1854-1866 serta Perang Lima Hari Lima Malam. Dari kesemua perang ini, aksi-aksi heroik selalu ditunjukkan oleh Tokoh-tokoh Lokal Sumatera Selatan. Salah satu perang besar yaitu Pergolakan Rakyat Besemah atau Pasemah pada tahun 1854 hingga 1866.

Besemah atau Pasemah sendiri merupakan salah satu daerah yang sekarang masuk wilayah Sumatera Selatan. Dalam peta pertama yang dibuat oleh Opnemer Ullman dan Steck pada tahun 1860 menunjukkan "Pasemah atau Besemah Lebar", yang di sekelilingnya terdapat daerah-daerah Pasemah Ulu Manak disebelah Selatan, Pasemah Ulu Lintang di sebelah Barat Laut, sedang jauh di balik Bukit Barisan adalah Pasemah Air Keruh. Ketiga daerah ini penduduknya berasal dari daerah Pasemah Lebar yang bisa dilihat dari adat istiadat serta Bahasa yang sama meskipun ada beberapa perbedaan dari beberapa suku kata dengan penduduk di Pasemah Lebar. 

van Rees dalam karangannya pada tahun 1870 mengenai pandangan seorang pendatang Belanda mengenai daerah Pasemah atau Besemah menyatakan "Tot aan het jaar 1866 leefde aan de Zuidoostelijke helling van het woeste Barisan geberte een volk, dat nog nimmer het hoofd had gebogen voor machtig naburen en waarvan enige stammenzich zelven den naam Merdika,d.i. vrij haden gegenen. Van de zuidwestzijde moeilijk te genaken door de Benkulenezen, van drie kanten ingesloten door hooge bergen, en gedekt door uitgestrekte wildernissen der Palembangsche binnenladen, had het volk weinig moeite gekost zijn vrijheid te handha ven; en zelfs na de anexatie der omliggende landen, zou het nog lang op zijn onafhankkelijkheid hebben kunnen baken indien het niet door inwendige beroering tot een staat van volkomen regeringlossheid had gegeven tot zijn inlijving in het groote gebied der blanken waarvan geheel Sumatra nog slechts een onderdeel vas".

Adapun arti dari karangan itu adalah sebagai berikut : "Sampai dengan tahun 1866 ada rakyat yang menghuni     perbukitan yang ganas di daerah Tenggara Bukit Barisan yang tidak pernah tunduk kepada suku tetangga yang lebih besar. Walau hanya terdiri dari beberapa suku saja, mereka menamakan dirinya Rakyat Bebas Merdeka. Dari Barat Daya sulit untuk ditembus oleh orang-orang Bengkulu, dari tiga sudut lain dilingkupi oleh bukit-bukit yang menjulang tinggi dan ditutupi oleh hutan rimba yang lebat serta luas di daerah pedalaman Palembang. Oleh karena itu tak heran mereka dapat mempertahankan kebebasannya, bahkan setelah daerah sekelilingnya telah dianeksasi atau diambil alih oleh Belanda. Mereka mungkin akan jauh lebih lama lagi menikmati kemerdekaan mereka, jika saja tidak ada kerusuhan dan kekacaun didalam yang menyebabkan daerah ini sepenuhnya tidak berpemerintahan, sampai dengan masuknya ke dalam daerah besar kekuasaan Belanda, dimana seluruh Sumatra masih merupakan bagiannya).

Dari karangan ini dapat kita lihat bagaimana Rakyat Sumatera Selatan khususnya wilayah Pasemah menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan. Ketika Belanda ingin menguasai daerah ini mereka harus menghadapi perlawanan yang sengit. Butuh waktu lama bagi Belanda untuk menundukkan daerah ini, tokoh-tokoh seperti Tuanku Imam Perdipo atau Toeankoe Lebih Penghoeloe atau Pidaran, Pangeran Tumenggung,  dan tokoh lainnya berjuang sekuat tenaga menghadapi Belanda. Pertempuran-pertempuran besar terjadi di Daerah Kota Agung, Munter Alam serta Tebat Serut. Namun, lambat laun kekuatan Pasemah atau Besemah semakin berkurang, hal ini disebabkan oleh perselisihan yang terjadi di internal rakyat Pasemah seperti yang dinyatakan oleh van Rees diatas. Salah satunya adalah perselisihan antara Tuanku Imam Perdipo yang merupakan ipar dari Pangeran Tumenggung (Kepala Sumbai Ulu Lurah/ Kepala Lampik Empat) dengan Piruhun pemimpin dari Gumai Ulu. Tidak jelas apa yang menyebabkan perselisihan hingga terbunuhnya orang tua Piruhun ini dan semenjak itu pula dendam antara Piruhun (Gumai Ulu) dengan Tuanku Imam Perdipo (Pasemah). Meskipun sempat didamaikan, dendam ini terus berlanjut dan pada waktu Tuanku Imam Perdipo dikejar Belanda tahun 1866 sampai ke Mekakau (Sindang Danau), Piruhun dengan pengikutnya tetap ikut mengejarnya disamping Belanda. Perselisihan-perselisihan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Belanda dengan politik devide et impera mereka.

Sumber :
- Pasemah Sindang Merdika : 1999 (Kamil Mahruf dkk)

Friday, June 14, 2013

Tuanku Imam Perdipo


Danau Rakihan, Desa Ulu Danau Sindang Danau.
Tuanku Imam Perdipo adalah seorang kiai yang berasal dari Semendo Ulu Lawas Dusun Ulu Danau atau sekarang dikenal dengan Desa Ulu Danau Kecamatan Sindang Danau Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan. Nama sebenarnya adalah Pidaran atau masyarakat Ulu Danau mengenalnya dengan panggilan Puyang Pidaran atau Puyang Aek Rambutan. Oleh karena tidak sepaham dengan kepala-kepala di tempat asalnya dia pindah ke tanah Pasemah dan bermukim di sebuah dusun kecil bernama Perdipo di seberang sungai Lematang di tempat dimana dia mengajarkan agama Islam.

Pada tahun 1821 Ahmad Najamudin diangkat oleh Inggris menjadi Sultan. Mahmud Badaruddin II beserta seluruh pengikutnya menyingkir, pertama ke dusun Bailangu kemudian Muara Rawas dan menghimpun kekuatan untuk merebut kembali tahtanya. Dari berbagai kawasan dia mendapat bantuan pasukan sukarelawan, dari Jambi, Kerinci bahkan dari Sumatera Barat. Pasemah tidak ketinggalan, sukarelawan dari Pasemah dipimpin oleh Tuanku Imam Perdipo. Beliau bergabung dengan sukarelawan dari Sumatera Barat yang disebutkan dengan pasukan Jubah Putih. Sebagai pimpinan pasukan beliau mendapat panggilan Imam dan sebagaimana lazimnya di Sumatera Barat sebagai penghormatan ditambah lagi dengan Tuanku dan menjadi Tuanku Imam.

Dalam karangan W.A van Rees dan Vaandel nama beliau hanya disebut Tuan Perdipo. Beliau bermarkas di dusun Pagar Ujung di Muara Rawas. Kemungkinan untuk mengingat tempat markasnya dulu beliau menamakan kampungnya Pagaruyung yang menjadi tempat tinggal keturunannya sampai sekarang di Pasemah.

Tulisan ini untuk http://sejarahri.com/ 
Tiger Roots Movement