sumber : semende.wordpress.com |
*Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sejarah II : "Historigrafi Tradisional Nusantara Abad VII-XIX untuk Mewujudkan Nilai-nilai Kearifan Lokal Menuju Pembangunan Karakter Bangsa" hari Senin, 9 November 2015 di Palembang, Sumatera Selatan.
versi cetak : download
Abstract
The system of heritage law in
Indonesia have their own rule and there is so many differences in every area
and ethnic. Its came from differences of structure in a society. Some ethnic
following patrilineal system and some other is using matrilineal and bilateral
system. The heritage system or law is very important part in a society, because
its show how an ethnic rule their daily life and how they believe with
something that rule their life. In this paper i will explain how this system
work at one of ethnic or people society in South Sumatera. This ethnic call
with ”Semendo” or Semendenese. They believe with Matrilineal system in their
heritage system and they called it with “Tunggu Tubang”. Their philosopy is
“Pusat Jale” or the center of a net that mean Tunggu Tubang is the place to get
back from a whole family. Tunggu Tubang
has responsibility to take care a whole family when they get home or around
together.
Keywords : Tunggu Tubang, Semendo, Heritage Law
I. Pendahuluan
Apabila
ditelusuri dan dilihat dari seluruh hukum yang ada dan berlaku sekarang ini
disamping hukum perkawinan, maka hukum waris merupakan bagian utama dalam hukum
keluarga yang sangat penting dan mencerminkan kehidupan hukum dalam suatu
masyarakat. Menurut Soerojo Wignyodipoero :“bahwa hukum waris
adat sangatlah erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargan dari masyarakat
hukum yang bersangkutan, serta berpengaruh pada harta kekayaan yang
ditinggalkan dalam masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, dalam membicarakan
masalah kewarisan mesti dibahas pula tentang hukum kekerabatan dan hukum
perkawinan masyarakat”.[1]
Hukum waris sangat dekat dan erat kaitannya dengan ruang
lingkup kehidupan manusia. Ketika seorang manusia meninggal akan menimbulkan
suatu permasalahan hukum mengenai hak dan kewajiban yang ditinggalkan oleh
manusia tersebut. Hal ini kemudian mengacu kepada hal ihwal mengenai warisan.
Seiring dengan masalah warisan inilah yang kemudian menimbulkan berbagai
permasalahan mengenai hak dan kewajiban orang yang ditinggalkan. Dan untuk
mengatur hal ini kemudian digunakan penyelesaian lewat hukum adat. Hukum adat
merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi
pembangunan Hukum Nasional yang menuju
ke arah unifikasi hukum terutama yang akan dilaksanakan melalui pembuatan
peraturan perundang-undangan.[2]
Hukum waris adat sendiri merupakan bagian dari hukum
perdata dalam negara Indonesia yang menganut Bhinneka Tunggal Ika, dimana
penerapannya berbeda-beda pada setiap golongan warga negara. Hukum Waris Adat
ini biasanya mengacu pada sifat kekeluargaan, Wirjono Prodjodikoro
dalam hal ini mengemukakan pendapat yang pokoknya dapat disimpulkan bahwa :
manusia di dunia ini mempunyai macam-macam sifat kekeluargaan dan sifat warisan
yang dalam suatu masyarakat tertentu berhubungan erat dengan sifat kekeluargaan
serta berpengaruh pada kekayaan dalam masyarakat itu. Sifat dari kekeluargaan
tertentu menentukan batas-batas, yang berada dalam tiga unsur dari soal warisan
yaitu peninggal warisan (erflater), ahli waris (erfgenaam) dan
harta warisan (natalatenschap). Maka dalam membicarakan hukum waris
perlu diketahui kekeluargaan masyarakatnya. Di Indonesia di berbagai daerah
terdapat sifat kekeluargaan yang berbeda dan dapat dimasukkan dalam tiga macam
golongan :
1. sifat
kebapakan (partriarchaat, faderrechfelijk),
2. sifat
keibuan (matriarchaat, moedrrechtelijk), dan
3.
sifat kebapak-ibuan (parental,
ouderrechtelijk).[3]
Dalam hal sifat
kekeluargaan tersebut Hilman Hadikusuma menyebutkannya sebagai sistem
keturunan, dia mengatakan bahwa di Indonesia sistem keturunan sudah berlaku
sejak dahulukala sebelum masuknya ajaran Hindu, Islam dan Kristen.[4]
Sistem keturunan yang berbeda-beda
tampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat. Secara teoritis sistem
keturunan dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu:
1. Sistem
Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik mulai garis bapak, dimana
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam
pewarisan (Batak, Lampung, Buru, Nusa Tenggara dan Irian Jaya);
2. Sistem
Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana
kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam
pewarisan (Minangkabau, Enggano) ;
3.
Sistem Parental atau
bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik melalui garis orang tua, atau
menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak
dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi).
Soerojo Wignjodipuro
mengemukakan pendapat yang sama seperti diatas, kemudian ditambahkannya suatu
masyarakat yang dalam pergaulan sehari-hari mengakui keturunan patrilineal atau
matrilineal saja, disebut unilateral, sedangkan yang mengakui keturunan dari
kedua belah pihak disebut bilateral.[5]
Dilihat dari yang mendapat warisan di Indonesia terdapat tiga macam sistem, yaitu
sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat dan kewarisan individual.
Dalam masyarakat Semendo, pengaturan mengenai masalah
warisan ini diatur dalam sebuah hukum waris adat yang bersifat matrilineal dan
dikenal dengan Konsep Tunggu Tubang dimana sistem pewarisan mengikuti garis Ibu
atau perempuan. Dan berdasarkan sistem kewarisan masyarakat
Semendo menganut sistem Kewarisan Mayorat dimana harta pusaka dikuasai oleh
anak perempuan tertua dengan hak pakai, hak mengolah dan hak memungut hasilnya.
II. Pembahasan
2.1.
Masyarakat Adat Semendo Lembak
Kata “Semendo” atau
dilafalkan dengan “Semende” berasal dari kata “same” dan “ende”, yang diartikan
sesama atau kebersamaan bergotong royong. Etnis atau suku Semendo sendiri
merupakan bagian dari kelompok “Pasemah Lebar” atau “Besemah Besak” hal ini
terlihat dari semboyan pada masa pemerintahan Lampik Empat Merdike Due yaitu
“Besemah Lebar Semende Panjang”.
Pada era Jagat Besemah, dusun-dusun, baik di
dalam maupun diluar tanah Besemah namun penduduknya berasal dari Juray Besemah,
seperti Semende, Kisam, Kedurang, Padang-Guci, Kelam, Kinal, Luwas, dan dengan
terjadinya Merubuh Sumbay (terjadi sekitar awal abad ke-20), batasannya
menjadi kabur dengan munculnya dusun-dusun teritorial akibat mobilitas penduduk
dan modernisasi, ditambah lagi dengan adanya program transmigrasi. Seiring
dengan perjalanan waktu, sumbay-sumbay (kesatuan masyarakat adat,
termasuk kesatuan masyarakat hukum berdasarkan keturunan) di Jagat Besemah berkembangbiak, sehingga menyebar diseluruh
wilayah yang kini bernama kota Pagaralam, Kabupaten Lahat, sebagian Kabupaten
Empat Lawang dan sebagian Kabupaten Muaraenim, sebagian Kabupaten Ogan Komering
Ulu, sebagian Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (provinsi Sumatera Selatan),
sebagian Kabupaten Bengkulu Selatan, sebagian Kabupaten Kaur, sebagian
Kabupaten Seluma (provinsi Bengkulu), sebagian Kabupaten Lampung Selatan dan
sebagian Kabupaten Lampung Utara (provinsi Lampung).[6]
Di Kabupaten Ogan
Komering Ulu Selatan sendiri masyarakat adat Semendo Lembak berdomisili
didataran tinggi atau pegunungan di hulu Sungai Luas dan Mekakau. Dimana yang
terbanyak terdapat di Kecamatan Pulau Beringin, Sindang Danau, Mekakau Ilir, Mekakau
Ulu dan Sungai Are. Dalam pergaulan sehari-hari digunakan bahasa yang masih
termasuk dalam rumpun bahasa Melayu namun memiliki perbedaan-perbedaan yang
signifikan namun dari segi pelafalan atau pengucapan memiliki kemiripan dengan
bahasa Melayu era sekarang dengan pelafalan “e”. Mata pencaharian primer masyarakat Semendo adalah bertani dan berkebun
terutama tanaman padi dan kopi. Yang tersebar di dataran tinggi sepanjang
gugusan bukit Barisan hingga perbatasan dengan Kabupaten Kaur yang juga
termasuk masyarakat Semendo namun dalam provinsi berbeda.
2.2. Nilai
dan Konsepsi Adat Tunggu Tubang
Seperti halnya suatu
suku, suku semendo menganut asas adat istiadat Tunggu Tubang. Adat istiadat ini
sendiri lebih mengatur dalam hal hukum waris, dimana hukum waris adat ini menganut
sistem Matrilineal atau garis ibu. Dalam hal ini suku Semendo mengharuskan “tunggu
tubang” atau anak perempuan untuk menjaga serta mengurus harta keluarga, tetapi
dia tidak mempunyai hak atas kepemilikan karena kepemilikan tetap milik
keluarga. Seorang anak perempuan akan dilimpahkan harta
warisan ketika dia berkeluarga atau menikah. Hak ini dapat berpindah kepada
anak laki-laki ketika dalam suatu keluarga tidak ada anak perempuan atau anak
perempuan tidak bersedia menjadi Tunggu Tubang dan dikenal dengan istilah ngangkit. Harta Pusaka yang telah turun temurun (bejulat) kepada anak, cucu, cicit dan
seterusnya sebagai ahli waris mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut :
1.
Sama
waris, Sama harga
2.
Sama
menjaganya
3.
Perempuan
(Tunggu Tubang) hanya menuggu tidak kuasa menjual
4.
Laki-laki
berkuasa, tapi tidak menuggu
5.
Sama-sama
mengambil faedah, dengan rumusan :
a.
Perempuan
dibela, laki-laki membela.
b.
Sama-sama
mengambil manfaat, yaitu perempuan disayang dan laki-laki disekolahkan tinggi.
c.
Sama-sama
mengambil untung, perempuan lekas kawin (semende) sehingga orang tua
berkesempatan mencari biaya untuk sekolah anak laki-laki, mengaji dan biaya
kawin (semende).
d.
Sama-sama
mengharapkan hasil, perempuan lekas berkeluarga (semende) sehingga berkembang
(berketurunan) dan laki-laki diantar kawin (semende) ke tunggu tubang lain[7]
Pemelihara
harta warisan adalah ahli waris laki-laki dengan tugas mengawasi harta
seluruhnya supaya tidak rusak, tidak berkurang, tidak hilang, dan sebagainya.
Lelaki tidak berhak menuggu, dia seorang laki-laki seakan-akan Raja berkuasa
memerintah dan diberi gelar dengan sebutan Meraje.
Anak belai adalah keturunan anak perempuan (Tunggu Tubang) mengingat
kelemahannya dan sifat perempuan (keibuan) maka ia dikasihi atau disayangi dan
ditugaskan menunggu harta pusaka sebagai tunggu tubang, mengerjakan,
memelihara, memperbaiki harta pusaka dan ia boleh mengambil hasil (sawah,
kolam, tebat, kebun) tetapi tidak kuasa menjual harta waris.
Seorang
laki-laki di Semendo berkedudukan sebagai Meraje
di rumah saudara perempuannya (kelawainye)
dan menjadi rakyat di rumah isterinya sehingga dia meraje dan juga rakyat. Kalau warga Tunggu Tubang telah turun temurun atau berjunjang tinggi,
maka tingkat pemerintah (Jajaran Meraje) tersusun sebagai berikut :
1. Kakak Laki-laki Tunggu
Tubang, disebut Lautan
(calon meraje) belum memerintah, dan dapat menjadi wali nikah bagi saudara
perempuannya
2. Kakak Laki-laki Ibu Tunggu
Tubang, disebut
Meraje atau Raja yang
berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan.
3. Kakak Laki-laki Nenek Tunggu
Tubang, disebut Jenang
Jurai yang berkedudukan sebagai Penasehat.
4. Kakak
Laki-laki Puyang Tunggu Tubang, disebut Payung Jurai yang berkedudukan sebagai
Pelindung.[8]
Selain
struktur diatas terdapat kedudukan lain dalam suatu keluarga Tunggu Tubang,
yaitu Apit Jurai atau saudara lain
dari Meraje dan Tunggu Tubang. Dalam penerapannya seorang Tunggu Tubang merupakan “Pusat Jale” atau pusat jala, artinya
disanalah tempat semua keluarga berkumpul. Hal ini merupakan simbol bahwa
Tunggu Tubang, utamanya rumah, sebagai tempat pulang atau berkumpul dimanapun
keluarga berada. Karena anggota keluarga lain mencari penghidupan ditempat lain
bahkan hingga ke luar daerah yang dikenal dengan istilah mencar atau anak ambur-ambur.
Dan Tunggu Tubang wajib untuk menghidupi atau menjamu keluarga yang pulang
atau berkumpul.
III. Kesimpulan
- Masyarakat adat Semendo Lembak menganut sistem pewarisan Matrilineal atau garis keturunan ibu dan dalam pelaksanaannya menerapkan sistem kewarisan Mayorat atau milik bersama dan tidak dapat dibagi.
- Seorang anak perempuan tertua menjadi Tunggu Tubang atau menerima warisan ini ketika ia sudah berkeluarga atau menikah. Jika tidak ada atau tidak bersedianya anak perempuan untuk menjadi Tunggu Tubang anak laki-laki dapat menjadi pewaris harta pusaka keluarga dan dikenal dengan istilah ngangkit.
- Tunggu Tubang bertanggung jawab terhadap seluruh keluarga dan diawasi oleh anak laki-laki tertua atau Meraje dan dibantu oleh saudara lain atau Apit Jurai.
[1] . Soerojo
Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Haji Masagung,
Jakarta, 1990, Hal. 165
[2]
. Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum
Nasional, 14 sampai 17 Januari 1975, Yogyakarta
[4] . Hilman
Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia, Perundang-undangan Hukum Adat, Hindu, dan
Islam, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1994, Hal. 23
[5] . Soerojo
Wignyodipoero, Op cit, hal.109
[6] . Ahmad bastari, Ek Pascal dan Yudi Herpansi, Lampik
Mpat Mardike Duwe, Penerbit: Pesake (Pecinta Sejarah dan Kebudayaan) dan
Pemerintah Kota Pagaralam, 2008, hal. 19