Saturday, March 12, 2016

Sekilas Mengenai Cucung Mobil Buhuk

Lambang CMB
Cucung Mobil Buhuk atau disingkat CMB yang didalam Bahasa Indonesia berarti Cucu Mobil Buruk  merupakan sebutan untuk keturunan Alm Setajib dan Almh Sejinda yang berasal dari Desa Uludanau Kecamatan Sindang Danau Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan. Mobil Buhuk sendiri merupakan sebuah sebutan atau nama panggilan yang melekat dalam diri Almh Sejinda, panggilan ini sendiri menurut orang tua penulis lahir karena ciri khas dari Almh Sejinda yang memiliki suara yang lantang dan dimanapun berada tidak pernah takut untuk bersuara atau menyampaikan pendapatnya sama seperti sebuah mobil tua yang memiliki suara yang lantang dan besar. Almh. Sejinda yang berasal dari Desa Uludanau kemudian menikah dengan Alm Setajib yang berasal dari Desa Karang Agung Kecamatan Baturaja Barat. Pasangan ini kemudian berdomisili di Desa Uludanau dan berprofesi seperti masyarakat umum pada masa itu yaitu bertani dan berkebun. Alm. Setajib dan Almh Sejinda kemudian dikaruniai delapan orang anak kandung dan satu anak angkat yaitu :
  1. Matdusir
  2. Marimah
  3. Dulsalam
  4. Mulimah
  5. Mawi
  6. Sihasan
  7. H.M.Rasyid
  8. Siti Alimah 
  9. Mustar (Anak Angkat)
Jika dilihat dari usia anak yang tertua adalah Alm Mustar yang merupakan anak angkat dari Alm Setajib dan Almh Sejinda. Pengangkatan anak ini sendiri menurut cerita dari orang tua penulis berawal ketika Alm Mustar yang merupakan teman dari Alm Matdusir membantu Alm Setajib dan Almh Sejinda menabah atau membuka sawah. Karena kegigihan dan keuletannya bekerja beliau kemudian diangkat menjadi anak dengan memotong seekor kambing sebagai tanda pengangkatan anak. Seiring berjalannya waktu, anak-anak dari Alm Setajib dan Sejinda ini kemudian berkeluarga dan mencari penghidupan masing-masing baik itu menetap di Desa Uludanau maupun merantau ke daerah lain seperti Provinsi Lampung. Anak-anaknya yang merantau kemudian menetap dan memiliki keturunan ditempat mereka merantau. Hal inilah yang kemudian selama beberapa generasi keturunan dari Alm Setajib ini terpisah dan berada didaerah yang berbeda-beda, dan secara garis besar menetap di tiga provinsi yaitu Sumatera Selatan, Lampung dan Jawa Barat. Di Provinsi Sumatera Selatan sendiri sebagian besar menetap di Kabupaten OKU Selatan. Di Provinsi Lampung tersebar di beberapa Kabupaten seperti, Lampung Selatan, Tanggamus, Pesawaran dan Bandar Lampung. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat terkonsentrasi di Tasikmalaya. Hal inilah yang kemudian menggugah benak beberapa orang keturunan dari Alm Setajib seperti Drs. A. Cipto dan Drs. Rudyatmoko untuk mengumpulkan seluruh keturunan Alm Setajib lewat sebuah acara yang bertajuk Reuni Akbar yang dilakukan setiap dua tahun sekali dan acara terakhir yaitu Reuni Akbar ke III dilaksanakan pada tahun 2015 di Desa Uludanau OKU Selatan dan acara Reuni Akbar selanjutnya direncanakan akan dilaksanakan pada tahun 2017 dan bertempat di Desa Padang Cermin Lampung Selatan. 

Dan setelah acara reuni terakhir penulis berhasil mengumpulkan serta menyusun silsilah dari beberapa orang keturunan dari Alm Setajib ini. Dan penulis berharap ini bisa menjadi awal dari penyusunan silsilah dari keturunannya yang lain, banyak hambatan yang ditemui oleh penulis diantaranya adalah keterbatasan data maupun narasumber yang bisa penulis mintakan pendapatnya. Dari Sembilan orang anak dari Alm Setajib penulis baru berhasil mengumpulkan silsilah dari Mulimah (belum lengkap), Siti Alimah (lengkap), Marimah (belum lengkap), HM Rasyid (belum lengkap) dan Mustar (lengkap). Penulis sendiri merupakan garis keturunan keempat dari Almh Sejinda dan Alm Setajib yang memiliki garis sebagai berikut : 

A. SETAJIB DAN SEJINDA
     5. MULIMAH DAN BRAHIM
         1. NURDAH DAN AYUB
             2. HAMIDI DAN LAILAWATI
                 1. NOFTARECHA PUTRA
                 2. WOGY IZAMA HENDRA
                 3. WEWI LUZIA AFDILLAH
Keterangan : Angka menunjukkan urutan anak keberapa.

Tulisan ini hanyalah sebuah catatan berdasarkan ingatan penulis pribadi dan jika terdapat kesalahan penulis memohon bimbingan dari para pembaca serta tetua CMB. Semoga lewat tulisan ini dapat menjadikan ikatan dari CMB ini semakin erat seperti motto dalam acara Reuni Akbar terakhir "Bulat Kata Karena Mufakat, Jurai Seganti Setungguan". Dan untuk para keturunan CMB yang berdomisili dimanapun penulis ucapkan salam dan hormat yang setinggi-tingginya, penulis sendiri saat ini berdomisili di Kota Indralaya Ogan Ilir Sumsel. Kritik dan saran maupun yang ingin membantu penulis menyusun silsilah atau daftar lengkap keturunan Alm Setajib dan Almh Sejinda dapat menghubungi penulis lewat email : noftarechaputra@gmail.com. Demikian tulisan ini penulis akhiri semoga dapat menjadi pemersatu kita semua. Salam Cucung Mobil Buhuk !!!


Saturday, December 26, 2015

FALSAFAH ADAT TUNGGU TUBANG DALAM SISTEM PEWARISAN MASYARAKAT ADAT SEMENDE LEMBAK

sumber : semende.wordpress.com

*Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sejarah II : "Historigrafi Tradisional Nusantara Abad VII-XIX untuk Mewujudkan Nilai-nilai Kearifan Lokal Menuju Pembangunan Karakter Bangsa" hari Senin, 9 November 2015 di Palembang, Sumatera Selatan.

 versi cetak : download  

Abstract
The system of heritage law in Indonesia have their own rule and there is so many differences in every area and ethnic. Its came from differences of structure in a society. Some ethnic following patrilineal system and some other is using matrilineal and bilateral system. The heritage system or law is very important part in a society, because its show how an ethnic rule their daily life and how they believe with something that rule their life. In this paper i will explain how this system work at one of ethnic or people society in South Sumatera. This ethnic call with ”Semendo” or Semendenese. They believe with Matrilineal system in their heritage system and they called it with “Tunggu Tubang”. Their philosopy is “Pusat Jale” or the center of a net that mean Tunggu Tubang is the place to get back from a whole family.  Tunggu Tubang has responsibility to take care a whole family when they get home or around together.
Keywords : Tunggu Tubang, Semendo, Heritage Law

I.    Pendahuluan
Apabila ditelusuri dan dilihat dari seluruh hukum yang ada dan berlaku sekarang ini disamping hukum perkawinan, maka hukum waris merupakan bagian utama dalam hukum keluarga yang sangat penting dan mencerminkan kehidupan hukum dalam suatu masyarakat. Menurut Soerojo Wignyodipoero :“bahwa hukum waris adat sangatlah erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargan dari masyarakat hukum yang bersangkutan, serta berpengaruh pada harta kekayaan yang ditinggalkan dalam masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, dalam membicarakan masalah kewarisan mesti dibahas pula tentang hukum kekerabatan dan hukum perkawinan masyarakat”.[1]
Hukum waris sangat dekat dan erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Ketika seorang manusia meninggal akan menimbulkan suatu permasalahan hukum mengenai hak dan kewajiban yang ditinggalkan oleh manusia tersebut. Hal ini kemudian mengacu kepada hal ihwal mengenai warisan. Seiring dengan masalah warisan inilah yang kemudian menimbulkan berbagai permasalahan mengenai hak dan kewajiban orang yang ditinggalkan. Dan untuk mengatur hal ini kemudian digunakan penyelesaian lewat hukum adat. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan Hukum  Nasional yang menuju ke arah unifikasi hukum terutama yang akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan.[2]
Hukum waris adat sendiri merupakan bagian dari hukum perdata dalam negara Indonesia yang menganut Bhinneka Tunggal Ika, dimana penerapannya berbeda-beda pada setiap golongan warga negara. Hukum Waris Adat ini biasanya mengacu pada sifat kekeluargaan, Wirjono Prodjodikoro dalam hal ini mengemukakan pendapat yang pokoknya dapat disimpulkan bahwa : manusia di dunia ini mempunyai macam-macam sifat kekeluargaan dan sifat warisan yang dalam suatu masyarakat tertentu berhubungan erat dengan sifat kekeluargaan serta berpengaruh pada kekayaan dalam masyarakat itu. Sifat dari kekeluargaan tertentu menentukan batas-batas, yang berada dalam tiga unsur dari soal warisan yaitu peninggal warisan (erflater), ahli waris (erfgenaam) dan harta warisan (natalatenschap). Maka dalam membicarakan hukum waris perlu diketahui kekeluargaan masyarakatnya. Di Indonesia di berbagai daerah terdapat sifat kekeluargaan yang berbeda dan dapat dimasukkan dalam tiga macam golongan :
1.    sifat kebapakan (partriarchaat, faderrechfelijk),
2.    sifat keibuan (matriarchaat, moedrrechtelijk), dan
3.    sifat kebapak-ibuan (parental, ouderrechtelijk).[3]
Dalam hal sifat kekeluargaan tersebut Hilman Hadikusuma menyebutkannya sebagai sistem keturunan, dia mengatakan bahwa di Indonesia sistem keturunan sudah berlaku sejak dahulukala sebelum masuknya ajaran Hindu, Islam dan Kristen.[4]  Sistem keturunan yang berbeda-beda tampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat. Secara teoritis sistem keturunan dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu:
1.    Sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik mulai garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan (Batak, Lampung, Buru, Nusa Tenggara dan Irian Jaya);
2.    Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano) ;
3.    Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik melalui garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi).
Soerojo Wignjodipuro mengemukakan pendapat yang sama seperti diatas, kemudian ditambahkannya suatu masyarakat yang dalam pergaulan sehari-hari mengakui keturunan patrilineal atau matrilineal saja, disebut unilateral, sedangkan yang mengakui keturunan dari kedua belah pihak disebut bilateral.[5] Dilihat dari yang mendapat warisan di Indonesia terdapat tiga macam sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat dan kewarisan individual.  
Dalam masyarakat Semendo, pengaturan mengenai masalah warisan ini diatur dalam sebuah hukum waris adat yang bersifat matrilineal dan dikenal dengan Konsep Tunggu Tubang dimana sistem pewarisan mengikuti garis Ibu atau perempuan. Dan berdasarkan sistem kewarisan masyarakat Semendo menganut sistem Kewarisan Mayorat dimana harta pusaka dikuasai oleh anak perempuan tertua dengan hak pakai, hak mengolah dan hak memungut hasilnya.

II.   Pembahasan
2.1.  Masyarakat Adat Semendo Lembak
Kata “Semendo” atau dilafalkan dengan “Semende” berasal dari kata “same” dan “ende”, yang diartikan sesama atau kebersamaan bergotong royong. Etnis atau suku Semendo sendiri merupakan bagian dari kelompok “Pasemah Lebar” atau “Besemah Besak” hal ini terlihat dari semboyan pada masa pemerintahan Lampik Empat Merdike Due yaitu “Besemah Lebar Semende Panjang”.
Pada era Jagat Besemah, dusun-dusun, baik di dalam maupun diluar tanah Besemah namun penduduknya berasal dari Juray Besemah, seperti Semende, Kisam, Kedurang, Padang-Guci, Kelam, Kinal, Luwas, dan dengan terjadinya Merubuh Sumbay (terjadi sekitar awal abad ke-20), batasannya menjadi kabur dengan munculnya dusun-dusun teritorial akibat mobilitas penduduk dan modernisasi, ditambah lagi dengan adanya program transmigrasi. Seiring dengan perjalanan waktu, sumbay-sumbay (kesatuan masyarakat adat, termasuk kesatuan masyarakat hukum berdasarkan keturunan) di Jagat Besemah berkembangbiak, sehingga menyebar diseluruh wilayah yang kini bernama kota Pagaralam, Kabupaten Lahat, sebagian Kabupaten Empat Lawang dan sebagian Kabupaten Muaraenim, sebagian Kabupaten Ogan Komering Ulu, sebagian Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (provinsi Sumatera Selatan), sebagian Kabupaten Bengkulu Selatan, sebagian Kabupaten Kaur, sebagian Kabupaten Seluma (provinsi Bengkulu), sebagian Kabupaten Lampung Selatan dan sebagian Kabupaten Lampung Utara (provinsi Lampung).[6]
Di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan sendiri masyarakat adat Semendo Lembak berdomisili didataran tinggi atau pegunungan di hulu Sungai Luas dan Mekakau. Dimana yang terbanyak terdapat di Kecamatan Pulau Beringin, Sindang Danau, Mekakau Ilir, Mekakau Ulu dan Sungai Are. Dalam pergaulan sehari-hari digunakan bahasa yang masih termasuk dalam rumpun bahasa Melayu namun memiliki perbedaan-perbedaan yang signifikan namun dari segi pelafalan atau pengucapan memiliki kemiripan dengan bahasa Melayu era sekarang dengan pelafalan “e”. Mata pencaharian primer masyarakat Semendo adalah bertani dan berkebun terutama tanaman padi dan kopi. Yang tersebar di dataran tinggi sepanjang gugusan bukit Barisan hingga perbatasan dengan Kabupaten Kaur yang juga termasuk masyarakat Semendo namun dalam provinsi berbeda.
2.2.  Nilai dan Konsepsi Adat Tunggu Tubang
Seperti halnya suatu suku, suku semendo menganut asas adat istiadat Tunggu Tubang. Adat istiadat ini sendiri lebih mengatur dalam hal hukum waris, dimana hukum waris adat ini menganut sistem Matrilineal atau garis ibu. Dalam hal ini suku Semendo mengharuskan “tunggu tubang” atau anak perempuan untuk menjaga serta mengurus harta keluarga, tetapi dia tidak mempunyai hak atas kepemilikan karena kepemilikan tetap milik keluarga. Seorang anak perempuan akan dilimpahkan harta warisan ketika dia berkeluarga atau menikah. Hak ini dapat berpindah kepada anak laki-laki ketika dalam suatu keluarga tidak ada anak perempuan atau anak perempuan tidak bersedia menjadi Tunggu Tubang dan dikenal dengan istilah ngangkit. Harta Pusaka yang telah turun temurun (bejulat) kepada anak, cucu, cicit dan seterusnya sebagai ahli waris mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut :
1.    Sama waris, Sama harga
2.    Sama menjaganya
3.    Perempuan (Tunggu Tubang) hanya menuggu tidak kuasa menjual
4.    Laki-laki berkuasa, tapi tidak menuggu
5.    Sama-sama mengambil faedah, dengan rumusan :
a.    Perempuan dibela, laki-laki membela.
b.    Sama-sama mengambil manfaat, yaitu perempuan disayang dan laki-laki disekolahkan tinggi.
c.    Sama-sama mengambil untung, perempuan lekas kawin (semende) sehingga orang tua berkesempatan mencari biaya untuk sekolah anak laki-laki, mengaji dan biaya kawin (semende).
d.    Sama-sama mengharapkan hasil, perempuan lekas berkeluarga (semende) sehingga berkembang (berketurunan) dan laki-laki diantar kawin (semende) ke tunggu tubang lain[7]
Pemelihara harta warisan adalah ahli waris laki-laki dengan tugas mengawasi harta seluruhnya supaya tidak rusak, tidak berkurang, tidak hilang, dan sebagainya. Lelaki tidak berhak menuggu, dia seorang laki-laki seakan-akan Raja berkuasa memerintah dan diberi gelar dengan sebutan Meraje. Anak belai adalah keturunan anak perempuan (Tunggu Tubang) mengingat kelemahannya dan sifat perempuan (keibuan) maka ia dikasihi atau disayangi dan ditugaskan menunggu harta pusaka sebagai tunggu tubang, mengerjakan, memelihara, memperbaiki harta pusaka dan ia boleh mengambil hasil (sawah, kolam, tebat, kebun) tetapi tidak kuasa menjual harta waris.
Seorang laki-laki di Semendo berkedudukan sebagai Meraje di rumah saudara perempuannya (kelawainye) dan menjadi rakyat di rumah isterinya sehingga dia meraje dan juga rakyat. Kalau warga Tunggu Tubang  telah turun temurun atau berjunjang tinggi, maka tingkat pemerintah (Jajaran Meraje) tersusun sebagai berikut :
1.    Kakak Laki-laki Tunggu Tubang, disebut Lautan (calon meraje) belum memerintah, dan dapat menjadi wali nikah bagi saudara perempuannya
2.    Kakak Laki-laki Ibu Tunggu Tubang, disebut  Meraje atau Raja yang berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan.
3.    Kakak Laki-laki Nenek Tunggu Tubang, disebut  Jenang Jurai yang berkedudukan sebagai Penasehat.
4.    Kakak Laki-laki Puyang Tunggu Tubang, disebut  Payung Jurai yang berkedudukan sebagai Pelindung.[8]
Selain struktur diatas terdapat kedudukan lain dalam suatu keluarga Tunggu Tubang, yaitu Apit Jurai atau saudara lain dari Meraje dan Tunggu Tubang. Dalam penerapannya seorang Tunggu Tubang merupakan “Pusat Jale” atau pusat jala, artinya disanalah tempat semua keluarga berkumpul. Hal ini merupakan simbol bahwa Tunggu Tubang, utamanya rumah, sebagai tempat pulang atau berkumpul dimanapun keluarga berada. Karena anggota keluarga lain mencari penghidupan ditempat lain bahkan hingga ke luar daerah yang dikenal dengan istilah mencar atau anak ambur-ambur. Dan Tunggu Tubang wajib untuk menghidupi atau menjamu keluarga yang pulang atau berkumpul.

III. Kesimpulan
  1. Masyarakat adat Semendo Lembak menganut sistem pewarisan Matrilineal atau garis keturunan ibu dan dalam pelaksanaannya menerapkan sistem kewarisan Mayorat atau milik bersama dan tidak dapat dibagi.
  2. Seorang anak perempuan tertua menjadi Tunggu Tubang atau menerima warisan ini ketika ia sudah berkeluarga atau menikah. Jika tidak ada atau tidak bersedianya anak perempuan untuk menjadi Tunggu Tubang anak laki-laki dapat menjadi pewaris harta pusaka keluarga dan dikenal dengan istilah ngangkit.
  3. Tunggu Tubang bertanggung jawab terhadap seluruh keluarga dan diawasi oleh anak laki-laki tertua atau Meraje dan dibantu oleh saudara lain atau Apit Jurai.


[1] . Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1990, Hal. 165
[2] . Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, 14 sampai 17 Januari 1975, Yogyakarta
[3] . Wiryono, Prodjodikoro, Hukum Perdata Indonesia, Rajawali, 1988, Hal. 14-16.
[4] . Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia, Perundang-undangan Hukum Adat, Hindu, dan Islam, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1994, Hal. 23
[5] . Soerojo Wignyodipoero, Op cit, hal.109
[6] . Ahmad bastari, Ek Pascal dan Yudi Herpansi, Lampik Mpat Mardike Duwe, Penerbit: Pesake (Pecinta Sejarah dan Kebudayaan) dan Pemerintah Kota Pagaralam, 2008, hal. 19
[7]  Wawancara dengan Pemangku Adat di Kecamatan Sindang Danau, 25 Juni  2014.


[8] Wawancara dengan salah satu Terutus Meraje di Desa Uludanau, 10 Agustus 2015.

Sunday, April 13, 2014

Sejarah Awal Kesultanan Palembang Darussalam

Makam Ki Gede Ing Suro
Pengaruh kuat orang-orang Cina berakhir ketika Kerajaan Majapahit mengirimkan utusannya untuk memimpin Palembang. Utusan itu bernama Arya Damar, putra Prabu Brawijaya V atau Bre Kertabumi (1468 - 1478 M), raja terakhir Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat (http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya).
Setibanya di Palembang, Arya Damar segera membangun kekuatan untuk merebut kembali pengaruh yang telah dipegang oleh orang-orang Cina. Bersama dengan Demang Lebar Daun, putra Sultan Mufti, penguasa di daerah Pagaruyung, Minangkabau, Arya Damar berhasil mendapatkan kembali pengaruh di wilayah Palembang yang sempat lepas (http://dodinp.multiply.com/journal/).
Tentang Demang Lebar Daun, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam Sejarah Melayu (1612), menulis sebagai berikut: “… ada sebuah negeri di tanah Andalas, Perlembang namanya, Demang Lebar Daun nama rajanya, …” (Hanafiah, 1995:19). Sebagai catatan, bahwa nama “Perlembang” di dalam Sejarah Melayu sama artinya dengan nama “Palembang” seperti yang dikenal sekarang.
Arya Damar yang kemudian memeluk Islam, mengganti namanya menjadi Arya Abdillah atau Arya Dillah dan menikah dengan anak Demang Lebar Daun yang bernama Puteri Sandang Biduk. Setelah berhasil menguasai Palembang, Arya Dillah menobatkan diri sebagai raja yang berkuasa antara tahun 1445 – 1486 M (Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, 2008:8).
Arya Dillah pernah mendapat hadiah seorang selir dari Prabu Brawijaya V, yaitu perempuan keturunan Cina yang dikenal sebagai Puteri Champa. Ketika dibawa ke Palembang, Puteri Champa tengah mengandung. Setelah resmi diperistri oleh Arya Damar, lahirlah bayi yang diberi nama Raden Patah (Badaruddin, 2008:8). Raden Patah ini nantinya akan menjadi raja pertama di Kesultanan Demak (1476 – 1568 M) bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama (1478 – 1518 M) (http://id.wikipedia.org/wiki/).
Pada awalnya, Kerajaan Palembang menempati daerah yang bernama Kuto Gawang sebagai pusat pemerintahan. “Gawang” dalam bahasa Jawa kuno diartikan sebagai “terang benderang” (L. Mardiwarsito, 1986, dalam Retno Purwanti, 2004:175). Setelah terjadi pergantian beberapa kali penguasa, pada sekitar tahun 1610 M, Kerajaan Palembang menjalin hubungan dengan VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie). Dalam perkembangan kemudian, ternyata hubungan antara VOC dengan Kerajaan Palembang menyisipkan perang besar yang terjadi pada tahun 1659 M.
Dalam perang tersebut VOC membumihanguskan Kuto Gawang. Akibatnya, Raja Palembang saat itu, Pangeran Seda Ing Rajek, melarikan diri ke Inderalaya (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Ogan Komering Hilir). Sepeninggal Pangeran Seda Ing Rajek, tampuk kepemimpinan di Kerajaan Palembang diserahkan kepada Ki Mas Hindi Pangeran Arya Kesuma (Retno Purwanti, 2004:20).
Hancurnya Kuto Gawang sebagai pertanda berakhirnya eksistensi Kerajaan Palembang dan berpengaruh terhadap pemindahan pusat pemerintahan dan pemukiman penduduk ke arah yang lebih ke hulu, yang terletak antara Sungai Rendang dan Sungai Tengkuruk. Daerah ini kemudian dikenal dengan nama Beringin Janggut. Setelah kehancuran Kerajaan Palembang, maka lahirlah Kesultanan Palembang Darussalam.
Pemindahan pusat Kerajaan Palembang Darussalam dari Kuto Gawang ke Beringin Janggut berpengaruh juga terhadap sistem pemerintahan yang kemudian menjadi Kesultanan Palembang Darussalam (Purwanti, 2004:20). Sebagai pemimpin yang pertama dari kesultanan ini adalah Ki Mas Hindi Pangeran Arya Kesumo yang kemudian ditabalkan oleh Badan Musyawarah Kepala-kepala Negeri Palembang dengan gelar Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659 - 1706 M), yang pada masa akhir hayatnya bergelar Sunan Cinde Walang (Badaruddin, 2008:19).
Di masa pemerintahannya, Ki Mas Hindi atau Sultan Abdurrahman mencoba menjalin ikatan dengan Kesultanan Mataram Islam (Hanafiah, 1995:193). Akan tetapi, upaya tersebut mengalami kegagalan. Beberapa kali utusan dari Palembang ditolak menghadap Sultan Mataram. Penolakan itu membuat Sultan Abdurrahman berkeputusan untuk memutuskan hubungan dengan Mataram (Hanafiah, 1995:193-195). Keberanian Sultan Abdurrahman memutuskan hubungan dengan Kesultanan Mataram Islam karena ia mendapat dukungan Kesultanan Istanbul dari Dinasti Turki Usmani (Badaruddin, 2008:16).
Jika dilihat dari sejarahnya, terdapat ikatan yang kuat antara Jawa-Palembang. Seperti diketahui, anak tiri dari Arya Dillah, raja pertama Kerajaan Palembang, adalah Raden Patah (1478 – 1518 M), pendiri Kesultanan Demak. Setelah Demak runtuh, sisa-sisa kerajaan ini pindah ke Jawa bagian timur dan menjadi Kesultanan Pajang (1549 – 1587 M). Kesultanan Pajang pada akhirnya menjadi bagian dari Kesultanan Mataram Islam (http://id.wikipedia.org).

Saturday, December 7, 2013

Kota Palembang, Sungai Musi dan Konsep Uluan Iliran

Bundaran Tempo Doeloe
Mengkaji peradaban bahari Kota Palembang tidak terlepas dari tiga komponen dasar yang menopangnya, yaitu Sungai Musi, Uluan Iliran dan Kota Palembang itu sendiri. Kota Palembang termasuk dalam wilayah Sumatera Selatan masa kini. Dalam sebuah catatan masa kolonial Marsden mendeskripsikan Palembang sebagai suatu daerah yang terletak didataran rendah dengan tanah yang rata, rawa-rawa dan daerah pantai yang sering kali terendam oleh banjir, hal ini membuat Palembang tidak cocok untuk tempat bercocok tanam. Sedangkan daerah pedalaman Palembang memiliki daerah yang subur dan terletak didaerah dataran tinggi, sehingga barang-barang produksi dihasilkan oleh daerah ini.
Sebagai daerah dataran rendah Palembang sangat bergantung pada bidang jasa terutama perdagangan. Hal inilah yang kemudian membuat Sungai Musi mempunyai posisi yang sangat sentral di Kota Palembang. Sungai Musi yang panjangnya mencapai 550 km, dan merupakan induk dari Sungai Ogan, Beliti, Lematang, Lakitan, Komering, Rawas, Rupit, Kelingi dan Batang Leko.1 Sungai-sungai ini merupakan anak sungai Musi yang disebut Batanghari Sembilan. Disamping itu Sungai Musi membelah Kota Palembang menjadi dua, yaitu daerah Hulu dan Hilir. Dari sejumlah sungai itu digunakan sebagai sarana transportasi yang mampu membentuk suatu pusat jaringan perdagangan di Kota Palembang.2 Maka dari itu Sungai Musi tentunya mengambil peranan penting dalam citra Palembang sebagai Kota Air yang selaras dengan pendapat beberapa Sejarawan seperti Altman,Irwin dan Chamers. Dan dari sungai ini juga terbentuklah konsep Uluan dan Iliran.
Uluan dan Iliran merupakan konsep kewilayahan yang sama sekali berbeda dengan Jawa. Pada perkembangannya Uluan dan Iliran tidak hanya menjadi konsep kewilayahan semata, tetapi juga dalam konsep sosio-kultural. Secara kewilayahan konsep Uluan adalah daerah yang terletak dipedalaman Sumatera Selatan disepanjang aliran Batanghari Sembilan. Sedangkan konsep Iliran merujuk kepada Kota Palembang yang memiliki Sungai Musi sebagai muara dari Batanghari Sembilan. Daerah Iliran tersebut, kerapkali juga disandingkan dengan kedatangan kemajuan, sebab yang paling pertama menerima perubahan acapkali datang dari daerah iliran sungai, yang kemudian kalau itu memang sampai, baru kemajuan itu menyentuh ke arah dan mengarah ke dunia daerah Uluan.3 Maka tidak heran dengan adanya Sungai Musi dan dekatnya jarak ke laut lepas Kota Palembang menjadi Bandar Dagang terpenting secara lokal maupun Internasional.

  1.  P. De Roo De Faille, Dari Zaman Kesultanan Palembang, terj. (Djakarta : Bhratara, 1971), hlm. 16.
  2. Supriyanto, Pelayaran dan Perdagangan di Pelabuhan Palembang 1824-1864, (Yogyakarta : Ombak, 2013), hlm. 32.
  3. Dedi Irwanto dkk, Iliran dan Uluan : Dinamika dan Dikotomi Sejarah Kultural Palembang, (Yogyakarta : Eja Publisher, 2010), hlm. 3.
Tulisan ini untuk sejarahri.com
Tiger Roots Movement

Sunday, October 27, 2013

Kebudayaan Sumatera Selatan : Suku Dan Adat Semende Lembak

Lambang Adat Semende
(Sumber Gambar : http://taguxs.blogspot.com)
Sumatera Selatan sebagai salah satu Provinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut Semboyan Bhinneka Tunggal Ika juga memiliki banyak ke-Bhinnekaan. Salah satunya adalah dalam hal Adat dan Suku. Salah satu suku yang berdomisili dan berkembang di Sumatera Selatan adalah Suku Semende Lembak atau dikenal dengan Suku Semendo Lembak. Semende Lembak sendiri merupakan bagian dari suku besar Besemah atau Pasemah. Sebagaimana disinggung dalam posting sebelumnya mengenai "Besemah Libagh Semende Panjang". Semende Lembak sendiri terkonsentrasi di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dan memiliki kesamaan dengan Semende yang ada di Kabupaten Muara Enim.

Sebagai sebuah suku Semende memiliki Aturan Adat tersendiri dan dikenal dengan Adat Tunggu Tubang. Tunggu Tubang sendiri adalah sebutan untuk anak perempuan paling tua didalam keluarga. Dalam adat semende dikenal dasar-dasar ataupun struktur dalam adat pada suatu keluarga (jurai). Adapun struktur tersebut adalah sebagai berikut :
  • Bepayung Jurai (Penasehat atau para Tetua keluarga)
  • Bemeraje (Raja atau Anak Laki-laki Tertua)
  • Bejenang Jurai (Anggota Keluarga atau Saudara)
  • Betunggu Tubang (Anak Perempuan Tertua)
  • Beanak Belai
  • Beapit Jurai
Tunggu Tubang atau anak perempuan paling tua berkewajiban untuk mengurus orang tua serta mengurus harta warisan. Dalam aturan ini tidak dikenal istilah "bagi harta warisan" karena semua kembali kepada Tunggu Tubang. Namun, disini Tunggu Tubang tidak berhak untuk menjual harta yang dipercayakan kepadanya melainkan ia harus mengurus serta mengembangkan harta itu. Harta yang dimaksud biasanya adalah Rumah, Sawah ataupun Kebun. Disini para Jenang Jurai maupun Apit Jurai bertugas mengawasi Tunggu Tubang ini serta melaporkan kepada Meraje jika terdapat kesalahan. Dan Meraje menjadi pemimpin dalam keluarga serta memutus semua perkara, Meraje berhak mengambil alih harta Tunggu Tubang jika Tunggu Tubang tidak mengurus harta tersebut ataupun membuat malu keluarga. Semua perkara mengenai harta ini kembali kepada keputusan Meraje. Harta warisan yang telah turun temurun kepada anak, cucu, cicit dan seterusnya sebagai ahli waris mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut :
  1. Sama waris, Sama harga 
  2. Sama menjaganya 
  3.  Perempuan (Tunggu Tubang) hanya menunggu tidak kuasa menjual
  4.  Laki-laki berkuasa, tapi tidak menunggu
  5.  Sama-sama mengambil faedah baik laki-laki atau perempuan rumusannya : 
  • Perempuan dibela, laki-laki membela. 
  • Sama-sama mengambil manfaat, yaitu perempuan disayang dan laki-laki  disekolahkan tinggi, belajar mengaji sampai ke Makkah (Naun) dan sebagainya.
  • Sama-sama mengambil untung, perempuan lekas kawin (semende) sehingga orang tua berkesempatan mencari biaya untuk sekolah anak laki-laki, mengaji dan biaya kawin (semende). 
  • Sama-sama mengharapkan hasil, perempuan lekas berkeluarga (semende) sehingga berkembang (berketurunan) dan laki-laki diantar kawin (semende) ke tunggu tubang lain.

Pemelihara harta warisan adalah ahli waris laki-laki dengan tugas mengawasi harta seluruhnya supaya tidak rusak, tidak berkurang, tidak hilang, dan sebagainya. Lelaki tidak berhak menuggu, dia seorang laki-laki seakan-akan Raja berkuasa memerintah dan diberi gelar dengan sebutan MERAJE.
Anak belai adalah keturunan anak betine (Kelawai Meraje) mengingat kelemahannya dan sifat perempuan (keibuan) maka ia dikasihi/disayangi dan ditugaskan menunggu harta pusaka sebagai tunggu tubang, mengerjakan, memelihara, memperbaiki harta pusaka dan ia boleh mengambil hasil (sawah, kolam, tebat, kebun/ghepangan) tetapi tidak kuasa menjual harta waris. Seorang laki-laki di Semende berkedudukan sebagai MERAJE di rumah suku ibunya (kelawainye) dan menjadi rakyat di rumah isterinya sehingga dia meraje dan juga rakyat. Kalau warga Tuggu Tubang (Adat Semende) telah turun temurun berjulat berjunjang tinggi, maka tingkat pemerintah (Jajaran Meraje) tersusun sebagai berikut :

  1.  Muanai (kakak/adik laki2) tunggu tubang , disebut Lautan (calon meraje) belum memerintah, dan dapat menjadi wali nikah (kawin) bagi kelawainya (ayuk atau adik perempuan) 
  2.  Muanai (kakak/adik laki2) Ibu Tunggu Tubang, disebut/dipanggil MERAJE
  3.  Muanai (kakak/adik laki2) Nenek Tunggu Tubang, disebut/dipanggil JENANG
  4.  Muanai (kakak/adik laki2) Puyang Tunggu Tubang, disebut/dipanggil PAYUNG

Catatan :
1. Meraje = Memerintah (Kepala Pemerintah)
2. Jenang = Lurus, Lembut (Memberikan Pertimbangan)
3. Payung = Tempat Berteduh (Pelindung)

Didalam aturan adat ini juga terdapat larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar oleh semua anggota keluarga. Larangan-larangan itu antara lain :
  • Durhake Ngak Jeme Tue (Durhaka Dengan Orang Tua)
Ini merupakan larangan pertama dan sesuai dengan ajaran Islam dimana semboyan adat ini sendiri adalah "Adat Bersendi Syara', Syara' Bersendi Kitabullah".
  • Tunggu Tubang Ingkar Janji
Dalam hal ini terjadi apabila Tunggu Tubang tidak mengurus orang tua maupun harta keluarga yang menjadi kewajibannya untuk mengelolah
  • Jenang Jurai Ngambik Rete Tunggu Tubang (Jenang Jurai Merebut Harta Tunggu Tubang)
Saudara lain dalam satu keluarga diluar Meraje ataupun Tunggu Tubang yang merebut harta yang menjadi hak Tunggu Tubang untuk mengelola.
  • Due Sekelawaian Sewarangan (Dua Beradik Besan)
Ini sangat dilarang karena merupakan perkawinan sedarah.
  • Nentang Meraje (Menentang Meraje)
Sebagai Raja atau Pemimpin keputusan dari Meraje bersifat absolut dan tidak boleh ditentang oleh Tunggu Tubang maupun Jenang Jurai
  • Bejual Anak (Menjual Anak)
Ini sangat dilarang karena anak merupakan amanah dari Allah SWT.

Selain kedua hal diatas Adat ini juga menganut asas-asas ataupun pedoman hidup yang tersusun dalam isi adat, yaitu :
  • Musyawarah
  • Gotong Royong
  • Ngecikkah Masalah Besak (Masalah Besar Jadi Masalah Kecil)
  • Ngapuskah Masalah Kecik (Masalah Kecil Dihapuskan)
  • Damai
Dalam semua hal segala pertikaian dihindari terutama perebutan harta warisan. oleh karena itu harta warisan tidak dibagi atau diwariskan tetapi dipercayakan untuk dikelola oleh Tunggu Tubang.