Sunday, April 13, 2014

Sejarah Awal Kesultanan Palembang Darussalam

Makam Ki Gede Ing Suro
Pengaruh kuat orang-orang Cina berakhir ketika Kerajaan Majapahit mengirimkan utusannya untuk memimpin Palembang. Utusan itu bernama Arya Damar, putra Prabu Brawijaya V atau Bre Kertabumi (1468 - 1478 M), raja terakhir Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat (http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya).
Setibanya di Palembang, Arya Damar segera membangun kekuatan untuk merebut kembali pengaruh yang telah dipegang oleh orang-orang Cina. Bersama dengan Demang Lebar Daun, putra Sultan Mufti, penguasa di daerah Pagaruyung, Minangkabau, Arya Damar berhasil mendapatkan kembali pengaruh di wilayah Palembang yang sempat lepas (http://dodinp.multiply.com/journal/).
Tentang Demang Lebar Daun, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam Sejarah Melayu (1612), menulis sebagai berikut: “… ada sebuah negeri di tanah Andalas, Perlembang namanya, Demang Lebar Daun nama rajanya, …” (Hanafiah, 1995:19). Sebagai catatan, bahwa nama “Perlembang” di dalam Sejarah Melayu sama artinya dengan nama “Palembang” seperti yang dikenal sekarang.
Arya Damar yang kemudian memeluk Islam, mengganti namanya menjadi Arya Abdillah atau Arya Dillah dan menikah dengan anak Demang Lebar Daun yang bernama Puteri Sandang Biduk. Setelah berhasil menguasai Palembang, Arya Dillah menobatkan diri sebagai raja yang berkuasa antara tahun 1445 – 1486 M (Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, 2008:8).
Arya Dillah pernah mendapat hadiah seorang selir dari Prabu Brawijaya V, yaitu perempuan keturunan Cina yang dikenal sebagai Puteri Champa. Ketika dibawa ke Palembang, Puteri Champa tengah mengandung. Setelah resmi diperistri oleh Arya Damar, lahirlah bayi yang diberi nama Raden Patah (Badaruddin, 2008:8). Raden Patah ini nantinya akan menjadi raja pertama di Kesultanan Demak (1476 – 1568 M) bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama (1478 – 1518 M) (http://id.wikipedia.org/wiki/).
Pada awalnya, Kerajaan Palembang menempati daerah yang bernama Kuto Gawang sebagai pusat pemerintahan. “Gawang” dalam bahasa Jawa kuno diartikan sebagai “terang benderang” (L. Mardiwarsito, 1986, dalam Retno Purwanti, 2004:175). Setelah terjadi pergantian beberapa kali penguasa, pada sekitar tahun 1610 M, Kerajaan Palembang menjalin hubungan dengan VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie). Dalam perkembangan kemudian, ternyata hubungan antara VOC dengan Kerajaan Palembang menyisipkan perang besar yang terjadi pada tahun 1659 M.
Dalam perang tersebut VOC membumihanguskan Kuto Gawang. Akibatnya, Raja Palembang saat itu, Pangeran Seda Ing Rajek, melarikan diri ke Inderalaya (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Ogan Komering Hilir). Sepeninggal Pangeran Seda Ing Rajek, tampuk kepemimpinan di Kerajaan Palembang diserahkan kepada Ki Mas Hindi Pangeran Arya Kesuma (Retno Purwanti, 2004:20).
Hancurnya Kuto Gawang sebagai pertanda berakhirnya eksistensi Kerajaan Palembang dan berpengaruh terhadap pemindahan pusat pemerintahan dan pemukiman penduduk ke arah yang lebih ke hulu, yang terletak antara Sungai Rendang dan Sungai Tengkuruk. Daerah ini kemudian dikenal dengan nama Beringin Janggut. Setelah kehancuran Kerajaan Palembang, maka lahirlah Kesultanan Palembang Darussalam.
Pemindahan pusat Kerajaan Palembang Darussalam dari Kuto Gawang ke Beringin Janggut berpengaruh juga terhadap sistem pemerintahan yang kemudian menjadi Kesultanan Palembang Darussalam (Purwanti, 2004:20). Sebagai pemimpin yang pertama dari kesultanan ini adalah Ki Mas Hindi Pangeran Arya Kesumo yang kemudian ditabalkan oleh Badan Musyawarah Kepala-kepala Negeri Palembang dengan gelar Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659 - 1706 M), yang pada masa akhir hayatnya bergelar Sunan Cinde Walang (Badaruddin, 2008:19).
Di masa pemerintahannya, Ki Mas Hindi atau Sultan Abdurrahman mencoba menjalin ikatan dengan Kesultanan Mataram Islam (Hanafiah, 1995:193). Akan tetapi, upaya tersebut mengalami kegagalan. Beberapa kali utusan dari Palembang ditolak menghadap Sultan Mataram. Penolakan itu membuat Sultan Abdurrahman berkeputusan untuk memutuskan hubungan dengan Mataram (Hanafiah, 1995:193-195). Keberanian Sultan Abdurrahman memutuskan hubungan dengan Kesultanan Mataram Islam karena ia mendapat dukungan Kesultanan Istanbul dari Dinasti Turki Usmani (Badaruddin, 2008:16).
Jika dilihat dari sejarahnya, terdapat ikatan yang kuat antara Jawa-Palembang. Seperti diketahui, anak tiri dari Arya Dillah, raja pertama Kerajaan Palembang, adalah Raden Patah (1478 – 1518 M), pendiri Kesultanan Demak. Setelah Demak runtuh, sisa-sisa kerajaan ini pindah ke Jawa bagian timur dan menjadi Kesultanan Pajang (1549 – 1587 M). Kesultanan Pajang pada akhirnya menjadi bagian dari Kesultanan Mataram Islam (http://id.wikipedia.org).

No comments:

Post a Comment