Saturday, December 26, 2015

FALSAFAH ADAT TUNGGU TUBANG DALAM SISTEM PEWARISAN MASYARAKAT ADAT SEMENDE LEMBAK

sumber : semende.wordpress.com

*Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sejarah II : "Historigrafi Tradisional Nusantara Abad VII-XIX untuk Mewujudkan Nilai-nilai Kearifan Lokal Menuju Pembangunan Karakter Bangsa" hari Senin, 9 November 2015 di Palembang, Sumatera Selatan.

 versi cetak : download  

Abstract
The system of heritage law in Indonesia have their own rule and there is so many differences in every area and ethnic. Its came from differences of structure in a society. Some ethnic following patrilineal system and some other is using matrilineal and bilateral system. The heritage system or law is very important part in a society, because its show how an ethnic rule their daily life and how they believe with something that rule their life. In this paper i will explain how this system work at one of ethnic or people society in South Sumatera. This ethnic call with ”Semendo” or Semendenese. They believe with Matrilineal system in their heritage system and they called it with “Tunggu Tubang”. Their philosopy is “Pusat Jale” or the center of a net that mean Tunggu Tubang is the place to get back from a whole family.  Tunggu Tubang has responsibility to take care a whole family when they get home or around together.
Keywords : Tunggu Tubang, Semendo, Heritage Law

I.    Pendahuluan
Apabila ditelusuri dan dilihat dari seluruh hukum yang ada dan berlaku sekarang ini disamping hukum perkawinan, maka hukum waris merupakan bagian utama dalam hukum keluarga yang sangat penting dan mencerminkan kehidupan hukum dalam suatu masyarakat. Menurut Soerojo Wignyodipoero :“bahwa hukum waris adat sangatlah erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargan dari masyarakat hukum yang bersangkutan, serta berpengaruh pada harta kekayaan yang ditinggalkan dalam masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, dalam membicarakan masalah kewarisan mesti dibahas pula tentang hukum kekerabatan dan hukum perkawinan masyarakat”.[1]
Hukum waris sangat dekat dan erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Ketika seorang manusia meninggal akan menimbulkan suatu permasalahan hukum mengenai hak dan kewajiban yang ditinggalkan oleh manusia tersebut. Hal ini kemudian mengacu kepada hal ihwal mengenai warisan. Seiring dengan masalah warisan inilah yang kemudian menimbulkan berbagai permasalahan mengenai hak dan kewajiban orang yang ditinggalkan. Dan untuk mengatur hal ini kemudian digunakan penyelesaian lewat hukum adat. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan Hukum  Nasional yang menuju ke arah unifikasi hukum terutama yang akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan.[2]
Hukum waris adat sendiri merupakan bagian dari hukum perdata dalam negara Indonesia yang menganut Bhinneka Tunggal Ika, dimana penerapannya berbeda-beda pada setiap golongan warga negara. Hukum Waris Adat ini biasanya mengacu pada sifat kekeluargaan, Wirjono Prodjodikoro dalam hal ini mengemukakan pendapat yang pokoknya dapat disimpulkan bahwa : manusia di dunia ini mempunyai macam-macam sifat kekeluargaan dan sifat warisan yang dalam suatu masyarakat tertentu berhubungan erat dengan sifat kekeluargaan serta berpengaruh pada kekayaan dalam masyarakat itu. Sifat dari kekeluargaan tertentu menentukan batas-batas, yang berada dalam tiga unsur dari soal warisan yaitu peninggal warisan (erflater), ahli waris (erfgenaam) dan harta warisan (natalatenschap). Maka dalam membicarakan hukum waris perlu diketahui kekeluargaan masyarakatnya. Di Indonesia di berbagai daerah terdapat sifat kekeluargaan yang berbeda dan dapat dimasukkan dalam tiga macam golongan :
1.    sifat kebapakan (partriarchaat, faderrechfelijk),
2.    sifat keibuan (matriarchaat, moedrrechtelijk), dan
3.    sifat kebapak-ibuan (parental, ouderrechtelijk).[3]
Dalam hal sifat kekeluargaan tersebut Hilman Hadikusuma menyebutkannya sebagai sistem keturunan, dia mengatakan bahwa di Indonesia sistem keturunan sudah berlaku sejak dahulukala sebelum masuknya ajaran Hindu, Islam dan Kristen.[4]  Sistem keturunan yang berbeda-beda tampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat. Secara teoritis sistem keturunan dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu:
1.    Sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik mulai garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan (Batak, Lampung, Buru, Nusa Tenggara dan Irian Jaya);
2.    Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano) ;
3.    Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik melalui garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi).
Soerojo Wignjodipuro mengemukakan pendapat yang sama seperti diatas, kemudian ditambahkannya suatu masyarakat yang dalam pergaulan sehari-hari mengakui keturunan patrilineal atau matrilineal saja, disebut unilateral, sedangkan yang mengakui keturunan dari kedua belah pihak disebut bilateral.[5] Dilihat dari yang mendapat warisan di Indonesia terdapat tiga macam sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat dan kewarisan individual.  
Dalam masyarakat Semendo, pengaturan mengenai masalah warisan ini diatur dalam sebuah hukum waris adat yang bersifat matrilineal dan dikenal dengan Konsep Tunggu Tubang dimana sistem pewarisan mengikuti garis Ibu atau perempuan. Dan berdasarkan sistem kewarisan masyarakat Semendo menganut sistem Kewarisan Mayorat dimana harta pusaka dikuasai oleh anak perempuan tertua dengan hak pakai, hak mengolah dan hak memungut hasilnya.

II.   Pembahasan
2.1.  Masyarakat Adat Semendo Lembak
Kata “Semendo” atau dilafalkan dengan “Semende” berasal dari kata “same” dan “ende”, yang diartikan sesama atau kebersamaan bergotong royong. Etnis atau suku Semendo sendiri merupakan bagian dari kelompok “Pasemah Lebar” atau “Besemah Besak” hal ini terlihat dari semboyan pada masa pemerintahan Lampik Empat Merdike Due yaitu “Besemah Lebar Semende Panjang”.
Pada era Jagat Besemah, dusun-dusun, baik di dalam maupun diluar tanah Besemah namun penduduknya berasal dari Juray Besemah, seperti Semende, Kisam, Kedurang, Padang-Guci, Kelam, Kinal, Luwas, dan dengan terjadinya Merubuh Sumbay (terjadi sekitar awal abad ke-20), batasannya menjadi kabur dengan munculnya dusun-dusun teritorial akibat mobilitas penduduk dan modernisasi, ditambah lagi dengan adanya program transmigrasi. Seiring dengan perjalanan waktu, sumbay-sumbay (kesatuan masyarakat adat, termasuk kesatuan masyarakat hukum berdasarkan keturunan) di Jagat Besemah berkembangbiak, sehingga menyebar diseluruh wilayah yang kini bernama kota Pagaralam, Kabupaten Lahat, sebagian Kabupaten Empat Lawang dan sebagian Kabupaten Muaraenim, sebagian Kabupaten Ogan Komering Ulu, sebagian Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (provinsi Sumatera Selatan), sebagian Kabupaten Bengkulu Selatan, sebagian Kabupaten Kaur, sebagian Kabupaten Seluma (provinsi Bengkulu), sebagian Kabupaten Lampung Selatan dan sebagian Kabupaten Lampung Utara (provinsi Lampung).[6]
Di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan sendiri masyarakat adat Semendo Lembak berdomisili didataran tinggi atau pegunungan di hulu Sungai Luas dan Mekakau. Dimana yang terbanyak terdapat di Kecamatan Pulau Beringin, Sindang Danau, Mekakau Ilir, Mekakau Ulu dan Sungai Are. Dalam pergaulan sehari-hari digunakan bahasa yang masih termasuk dalam rumpun bahasa Melayu namun memiliki perbedaan-perbedaan yang signifikan namun dari segi pelafalan atau pengucapan memiliki kemiripan dengan bahasa Melayu era sekarang dengan pelafalan “e”. Mata pencaharian primer masyarakat Semendo adalah bertani dan berkebun terutama tanaman padi dan kopi. Yang tersebar di dataran tinggi sepanjang gugusan bukit Barisan hingga perbatasan dengan Kabupaten Kaur yang juga termasuk masyarakat Semendo namun dalam provinsi berbeda.
2.2.  Nilai dan Konsepsi Adat Tunggu Tubang
Seperti halnya suatu suku, suku semendo menganut asas adat istiadat Tunggu Tubang. Adat istiadat ini sendiri lebih mengatur dalam hal hukum waris, dimana hukum waris adat ini menganut sistem Matrilineal atau garis ibu. Dalam hal ini suku Semendo mengharuskan “tunggu tubang” atau anak perempuan untuk menjaga serta mengurus harta keluarga, tetapi dia tidak mempunyai hak atas kepemilikan karena kepemilikan tetap milik keluarga. Seorang anak perempuan akan dilimpahkan harta warisan ketika dia berkeluarga atau menikah. Hak ini dapat berpindah kepada anak laki-laki ketika dalam suatu keluarga tidak ada anak perempuan atau anak perempuan tidak bersedia menjadi Tunggu Tubang dan dikenal dengan istilah ngangkit. Harta Pusaka yang telah turun temurun (bejulat) kepada anak, cucu, cicit dan seterusnya sebagai ahli waris mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut :
1.    Sama waris, Sama harga
2.    Sama menjaganya
3.    Perempuan (Tunggu Tubang) hanya menuggu tidak kuasa menjual
4.    Laki-laki berkuasa, tapi tidak menuggu
5.    Sama-sama mengambil faedah, dengan rumusan :
a.    Perempuan dibela, laki-laki membela.
b.    Sama-sama mengambil manfaat, yaitu perempuan disayang dan laki-laki disekolahkan tinggi.
c.    Sama-sama mengambil untung, perempuan lekas kawin (semende) sehingga orang tua berkesempatan mencari biaya untuk sekolah anak laki-laki, mengaji dan biaya kawin (semende).
d.    Sama-sama mengharapkan hasil, perempuan lekas berkeluarga (semende) sehingga berkembang (berketurunan) dan laki-laki diantar kawin (semende) ke tunggu tubang lain[7]
Pemelihara harta warisan adalah ahli waris laki-laki dengan tugas mengawasi harta seluruhnya supaya tidak rusak, tidak berkurang, tidak hilang, dan sebagainya. Lelaki tidak berhak menuggu, dia seorang laki-laki seakan-akan Raja berkuasa memerintah dan diberi gelar dengan sebutan Meraje. Anak belai adalah keturunan anak perempuan (Tunggu Tubang) mengingat kelemahannya dan sifat perempuan (keibuan) maka ia dikasihi atau disayangi dan ditugaskan menunggu harta pusaka sebagai tunggu tubang, mengerjakan, memelihara, memperbaiki harta pusaka dan ia boleh mengambil hasil (sawah, kolam, tebat, kebun) tetapi tidak kuasa menjual harta waris.
Seorang laki-laki di Semendo berkedudukan sebagai Meraje di rumah saudara perempuannya (kelawainye) dan menjadi rakyat di rumah isterinya sehingga dia meraje dan juga rakyat. Kalau warga Tunggu Tubang  telah turun temurun atau berjunjang tinggi, maka tingkat pemerintah (Jajaran Meraje) tersusun sebagai berikut :
1.    Kakak Laki-laki Tunggu Tubang, disebut Lautan (calon meraje) belum memerintah, dan dapat menjadi wali nikah bagi saudara perempuannya
2.    Kakak Laki-laki Ibu Tunggu Tubang, disebut  Meraje atau Raja yang berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan.
3.    Kakak Laki-laki Nenek Tunggu Tubang, disebut  Jenang Jurai yang berkedudukan sebagai Penasehat.
4.    Kakak Laki-laki Puyang Tunggu Tubang, disebut  Payung Jurai yang berkedudukan sebagai Pelindung.[8]
Selain struktur diatas terdapat kedudukan lain dalam suatu keluarga Tunggu Tubang, yaitu Apit Jurai atau saudara lain dari Meraje dan Tunggu Tubang. Dalam penerapannya seorang Tunggu Tubang merupakan “Pusat Jale” atau pusat jala, artinya disanalah tempat semua keluarga berkumpul. Hal ini merupakan simbol bahwa Tunggu Tubang, utamanya rumah, sebagai tempat pulang atau berkumpul dimanapun keluarga berada. Karena anggota keluarga lain mencari penghidupan ditempat lain bahkan hingga ke luar daerah yang dikenal dengan istilah mencar atau anak ambur-ambur. Dan Tunggu Tubang wajib untuk menghidupi atau menjamu keluarga yang pulang atau berkumpul.

III. Kesimpulan
  1. Masyarakat adat Semendo Lembak menganut sistem pewarisan Matrilineal atau garis keturunan ibu dan dalam pelaksanaannya menerapkan sistem kewarisan Mayorat atau milik bersama dan tidak dapat dibagi.
  2. Seorang anak perempuan tertua menjadi Tunggu Tubang atau menerima warisan ini ketika ia sudah berkeluarga atau menikah. Jika tidak ada atau tidak bersedianya anak perempuan untuk menjadi Tunggu Tubang anak laki-laki dapat menjadi pewaris harta pusaka keluarga dan dikenal dengan istilah ngangkit.
  3. Tunggu Tubang bertanggung jawab terhadap seluruh keluarga dan diawasi oleh anak laki-laki tertua atau Meraje dan dibantu oleh saudara lain atau Apit Jurai.


[1] . Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1990, Hal. 165
[2] . Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, 14 sampai 17 Januari 1975, Yogyakarta
[3] . Wiryono, Prodjodikoro, Hukum Perdata Indonesia, Rajawali, 1988, Hal. 14-16.
[4] . Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia, Perundang-undangan Hukum Adat, Hindu, dan Islam, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1994, Hal. 23
[5] . Soerojo Wignyodipoero, Op cit, hal.109
[6] . Ahmad bastari, Ek Pascal dan Yudi Herpansi, Lampik Mpat Mardike Duwe, Penerbit: Pesake (Pecinta Sejarah dan Kebudayaan) dan Pemerintah Kota Pagaralam, 2008, hal. 19
[7]  Wawancara dengan Pemangku Adat di Kecamatan Sindang Danau, 25 Juni  2014.


[8] Wawancara dengan salah satu Terutus Meraje di Desa Uludanau, 10 Agustus 2015.

No comments:

Post a Comment